Ibu.

Hari ini aku mengenang Ibu dengan murung.
Walau Ibu dikenal banyak orang, sedikit yang tahu dan ingat kalau Ibu terus bersusah hati.
Orang-orang mengenang Ibu dengan caranya masing-masing.
Sayangnya, sedikit yang melihat Ibu sebagaimana Ibu berada sekarang.

Mereka terjangkar pada kenangan-kenangan usang akan senjata dan darah.
Mereka melihat Ibu sebagai simbol bambu runcing dan lambang-lambang kepahlawanan lainnya.
Mereka mengingat Ibu dalam masa perang, tapi mereka melupakan Ibu pada masa sekarang, ketika Ibu sedang sakit, Ibu sedang mengerang.
Mereka mengaku mencintai Ibu lewat jargon-jargon kosong seperti jargon kepunyaan pedagang pelit atau para elit yang berbelit-belit.

Padahal Ibu tidak akan menemukan sejahtera dalam cinta anak-anaknya ketika anak-anak bungsunya yang selalu berada di benak Ibu dan tinggal di Timur sana selalu dibungkam mulutnya.

Ibu juga tidak minta cinta kalau cinta berarti rumah Ibu dirusak dan dicakar dan dilelang dan dibuat taman bermain anak-anaknya yang kaya nan durhaka.

Toh Ibu juga tidak perlu jadi kaya. Ibu hanya mau anak-anaknya sehat dan hidup seperti biasa.
Apalah artinya kaya bagi seorang Ibu kalau anak-anaknya sakit-sakitan dan bahkan meninggal dunia sebelum Ibu melihat mereka dewasa.

Aku sedih karena Ibu selalu diam
Seakan-akan tiada hari yang tak kelam.

Tapi saudara-saudaraku yang kaya di sana apa ada yang masih peduli?
Kalau kau dengar tangisan Ibu, apa kau akan pura-pura tuli?

"Ah kamu, begitu saja dramatis sekali, sih.
Tutupi saja muka nenek tua itu dengan bedak dan hiasi bibirnya dengan gincu."
"Oh iya, ini senapan laras panjang buat Ibu. Biar gagah."
"Ini ada amplop buat Ibu."
"Foto dulu, Bu. Satu, dua, tiga. Senyum dong, Bu! Kakak sebal Ibu muram terus! Malu aku nanti posting foto Ibu di Instagram."

"Aku sayang Ibu."

Comments

Popular Posts